Oleh
Syaikh Abdul Malik bin
Muhammad Al-Jazairi
Sebagaimana (keadaan orang-orang) yang mengikuti para rasul akan
mendapat pertolongan, demikian pula orang-orang yang menyelisihi para rasul akan
mengalami kehinaan dan kekalahan. Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman.
"Artinya :
Sesungguhnya orang-orang yang menentang Allah dan RasulNya, mereka termasuk
orang-orang yang sangat hina" [Al-Mujadalah : 20]
Dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
"Artinya : ....
Dan Allah jadikan kehinaan dan kekalahan bagi orang yang menyelisihi perintahku"
[Hadits Hasan Riwayat
Ahmad]
Penjelasan hadits tersebut sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah : "Bid'ah itu mengakibatkan perpecahan,
sebagaimana sunnah mengakibatkan persatuan, sebagaimana dalam istilah disebutkan
Ahlus Sunnah wal Jama'ah (pengikut sunnah dan jama'ah), demikian pula dalam
istilah dikatakan : 'Ahlul Bid'ah wal Firaq (pelaku perbuatan bid'ah dan
berpecah belah)" [Al-Uswah I/42 dan lihat
Ijtima'ul Juyus Al-Islamiyah, oleh Ibnul Qayyim hal. 6]
"Artinya : Dan
ta'atlah kepada Allah dan RasulNya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang
menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu" [Al-Anfal : 46]
Dan manakala komitmen terhadap As-Sunnah adalah perahu keselamatan di
tengah samudera perpecahan, maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
memerintahkan untuk berpegang teguh pada sunnah dikala terjadinya perselisihan,
beliau bersabda.
"Artinya :
Barangsiapa di antara kalian yang hidup sesudahku nanti, ia akan melihat
perpecahan yang banyak maka hendaknya kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan
sunnah para Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk, berpegang teguhlah
dengannya dan gigitlah ia dengan gigi geraham, dan jauhilah oleh kalian
perkara-perkara yang baru" [Hadits Shahih Riwayat Tirimidzi, Ibnu Majah, dan
selainnya]
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
"Artinya : Dan
janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah
datang keterangan yang jelas kepada mereka" [Ali-Imran : 105]
Maknanya : "Telah datang wahyu Allah yang menyatukan mereka, maka
tatkala mereka meninggalkannya, merekapun berselisih". Dan hal terjadi dalam
sejarah kaum Yahudi dan Nashrani terhadap rasul-rasul mereka. Kaum Nashrani
mengikuti para rahibnya yang mengadakan perbuatan bid'ah dan meninggalkan
perintah yang diperintahkan kepada mereka, maka Allah Subhanahu wa Ta'ala
timbulkan permusuhan dan kebencian di antara mereka sebagaimana firman Allah
Subhanahu wa Ta'ala.
"Artinya : Dan
diantara orang-orang yang mengatakan : 'Sesungguhnya kami ini orang-orang
Nashrani', ada yang telah Kami ambil perjanjian mereka, tetapi mereka (sengaja)
melupakan sebahagian dari apa yang mereka telah diberi peringatan dengannya ;
maka Kami timbulkan di antara mereka permusuhan dan kebencian sampai hari
kiamat" [Al-Maidah :
13]
Ibnu Timiyah Rahimahullah berkata : Ayat ini adalah nash yang
menerangkan bahwa mereka meninggalkan sebagian perintah yang diperintahkan
kepada mereka, dan perbuatan mereka ini (yaitu meninggalkan perintah) adalah
penyebab terjadinya permusuhan dan kebencian yang diharamkan. [Majmu' Fatawa 20/109]
Demikianpula kaum Yahudi meninggalkan sebagian yang diperintahkan
kepada mereka, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
"Artinya :
Mereka suka merobah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya, dan mereka
(sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya"
[Al-Maidah :
13]
Akan tetapi perbuatan mereka itu (yaitu meninggalkan sebagian yang
diperintahkan kepada mereka) tumbuh dari sikap mereka yang meninggalkan kebaikan
lantaran benci terhadap apa yang diturunkan Allah Subhanahu wa Ta'ala,
sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
"Artinya : Dan
Al-Qur'an yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu sungguh-sungguh akan menambah
kedurhakaan dan kekafiran bagi kebanyakan di antara mereka. Dan Kami telah
timbulkan permusuhan dan kebencian di antara mereka sampai hari kiamat"
[Al-Ma'idah : 64]
[Majmu' Fatawa
31/227]
Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata : "Pertikaian dan perseteruan yang
terjadi di luar penganut Islam, lebih banyak dari yang terjadi pada penganut
Islam. Maka seseorang yang dekat dengan mutaba'atur rasul (taat kepada rasul),
maka pertikaian dalam diri mereka lebih sedikit.
Adapun perselisihan dan pertikaian yang terjadi pada para filosof
Yunani ,
India dan semisal mereka, maka hal itu adalah
suatu perkara yang tak dapat menghitungnya, kecuali Allah Subhanahu wa Ta'ala
(lantaran banyaknya). Dan setelah itu perselisihan dan pertikaian yang terjadi
dalam kelompok yang terbesar berbuat kebid'ahan (dalam agama Islam) seperti
syi'ah rafidhah, dan setelah itu perselisihan dan pertikaian antara kaum
mu'tazilah dan semisal mereka. Setelah itu perselisihan dan pertikaian
kelompok-kelompok yang berintisab (mengelompokkan diri mereka) pada Al-Jama'ah,
seperti kullabiyah, dan karromiyah dan as'ariyah serta kelompok yang semisal
mereka.
Kemudian setelah itu perselisihan dan pertikaian di antara ahli
hadits, dan ahli hadits ini adalah kelompok yang paling sedikit perselisihan dan
pertikaiannya dalam dasar-dasar mereka, (yang demikian itu) karena warisan yang
mereka peroleh dari Nubuwwah (ilmu Nabi), lebih besar dari warisan yang
diperolah kelompok lainnya.
Pegangan mereka adalah tali agama Allah Subhanahu wa Ta'ala, yang
mereka berpegang teguh padanya.
"Artinya : Dan
berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah" [Al-Imran : 103] [Minhajus As-Sunnah]
Di antara untaian mutiara yang mahal dari Abi Mudhaffar As-Sam'ani
adalah ucapannnya : "Dan sebagian dalil yang menunjukkan bahwasanya ahli hadits
berada di atas al-haq (kebenaran) adalah, jika engkau menelaah seluruh
kitab-kitab mereka yang ditulis sejak dari generasi awal hingga akhir dengan
perbedaan negara dan zaman mereka, serta jauhnya jarak tempat tinggal antara
mereka, masing-masing mereka tinggal pada benua yang berlainan, kamu akan dapati
mereka dalam menjelaskan i'tiqad (keyakinan) berada dalam satu cara dan satu
jalan, mereka berjalan di atas satu jalan dengan tidak menyimpang dan berbelok,
perkataan mereka tentang i'tiqad adalah satu, dan keluar dari satu lidah. Serta
nukilan mereka satu, kalian tidak akan jumpai perbedaan diantara mereka meskipun
sedikit. Bahkan jika engkau kumpulkan semua yang pernah terlintas di atas
lisan-lisan mereka (yang mereka nukil dari salaf) engkau akan jumpai seakan-akan
datang dari hati yang satu dan dari lisan yang satu pula. Maka adakah dalam
kebenaran dalil yang lebih jelas tentang hal ini ? Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman.
"Artinya : Maka
apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur'an ? Kalau kiranya Al-Qur'an itu bukan
dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak didalamnya"
[An-Nisa :
82]
Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
"Artinya : Dan
berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu
bercerai berai" [Ali
Imran : 103]
Adapun bila engkau melihat pada diri ahlul ahwa (pengikut hawa nafsu)
dan ahlul bida' (pelaku ke bid'ahan), engkau akan dapati mereka dalam keadaan
berpecah belah, berselisih, menjadi berkelompok-kelompok dan bergolong-golongan,
hampir-hampir tidak engkau jumpai dua orang di antara mereka yang berada di atas
satu jalan dalam masalah aqidah, satu sama lain saling menuduh bid'ah, bahkan
sampai saling mengkafirkan. Seorang anak mengkafirkan ayahnya, seseorang
mengkafirkan saudaranya, seorang tetangga mengkafrikan tetangga
lainnya.
Engkau akan melihat mereka selalu dalam perseteruan, kebencian dan
perselisihan (selamanya), bahkan umur mereka habis, namun mereka tak pernah
bersatu dalam satu kalimat.
"Artinya : Kamu
kira mereka itu bersatu sedang hati mereka berpecah belah. Yang demikian itu
karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang tiada mengerti" [Al-Hasyr : 14] [Al-Hujjah Li Qowwamis Sunnah
2/225]
Dan tujuan dari semua ini adalah menjelaskan akan tertimpanya asatu
kekalahan bagi siapa saja yang menyelisihi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam, dan kekalahan itu akan segera mereka dapati lantaran sikap mereka yang
menyelisihi (Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam).
Disalin dari Majalah : Al
Ashalah, diterjemahkan oleh Majalah Adz-Dzkhiirah Al-Islamiyah Edisi : Th. I/No.
04/ 2003 - 14124H,Terbitan Ma'had Ali Al-Irsyad Surabaya
METODE SALAF DALAM
MENERIMA ILMU
Oleh
Syaikh Abdul Adhim
Badawi
"Artinya :
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan
yang mu'min, apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu ketetapan, akan
ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa
mendurhakai Allah dan RasulNya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang
nyata" [Al-Ahzab :
36]
Dari fenomena
yang tampak pada saat ini, (kita menyaksikan) khutbah-khutbah, nasehat-nasehat,
pelajaran-pelajaran banyak sekali, melebihi pada zaman para sahabat Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam, tabi'in (orang-orang yang berguru kepada para
sahabat) serta tabiut tabiin (orang-orang yang berguru kepada tabi'in). Namun
bersamaan itu pula, amal perbuatan sedikit. Sering kali kita mendengarkan
(perintah Allah dan RasulNya) namun, sering juga kita tidak melihat ketaatan,
dan sering kali kita mengetahuinya, namun seringkali juga kita tidak
mengamalkan.
Inilah perbedaan
antara kita dan sahabat-sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tabiin dan
tabiut tabiin yang mereka itu hidup pada masa yang mulia. Sungguh pada masa
mereka nasehat-nasehat, khutbah-khutbah dan pelajaran-pelajaran sedikit, hingga
berkata salah seorang sahabat.
"Artinya :
Adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tatkala memberikan nasehat
mencari keadaan dimana kita giat, lantaran khawatir kita bosan"
[Muttafaqun
Alaihi]
Di zaman para
sahabat dahulu sedikit perkataan tetapi banyak perbuatan, mereka mengetahui
bahwa apa yang mereka dengar dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam wajib
diamalkan, sebagaimana keadaan tentara yang wajib melaksanakan komando atasannya
di medan pertempuran, dan kalau tidak dilaksanakan kekalahan serta kehinaanlah
yang akan dialami.
Para sahabat Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam dahulu, menerima wahyu Allah 'Azza wa Jalla dengan
perantaraan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan sikap mendengar,
taat serta cepat mengamalkan. Tidaklah mereka terlambat sedikitpun dalam
mengamalkan perintah dan larangan yang mereka dengar, dan juga tidak terlambat
mengamalkan ilmu yang mereka pelajari dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam.
Inilah contoh
yang menerangkan bagaimana keadaan sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
tatkala mendapatkan wahyu dari Allah 'Azza wa Jalla. Para ahli tafsir
menyebutkan tentang sebab turunnya ayat dalam surat Al-Ahzab ayat 36 ini (dengan
berbagai macam sebab) , saya merasa perlu untuk menukilnya, inilah sebab
turunnya ayat itu :
Para ahli tafsir
meriwayatkan, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menginginkan untuk
menghancurkan adanya perbedaan-perbedaan tingkatan (kasta) di antara manusia, dan
melenyapkan penghalang antara fuqara
(orang-orang fakir) dan orang-orang kaya. Dan juga antara
orang-orang yang merdeka (yaitu
bukan budak dan bukan pula keturunannya), dengan orang-orang yang (mendapatkan
nikmat Allah 'Azza wa Jalla) menjadi orang merdeka sesudah dulunya menjadi
budak.
Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam ingin menerangkan kepada manusia bahwa mereka
semua seperti gigi yang tersusun, tidak ada keutamaan bagi orang Arab terhadap
selain orang Arab, dan tidak ada keutamaan atas orang yang berkulit putih
terhadap yang berkulit hitam kecuali ketaqwaan (yang membedakan antara mereka).
Sebagaimana firman Allah 'Azza wa Jalla.
"Artinya : Hai
manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di
sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal" [Al-Hujurat : 13]
Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam menanamkan dalam hati manusia mabda' (pondasi) ini. Dan barangkali,
dalam keadaan seperti ini, perkataan sedikit faedah dan pengaruhnya, yang
demikian itu disebabkan karena fitrah manusia ingin menonjol dan cinta
popularitas. Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berpendapat untuk
menanamkan pondasi ini dalam jiwa-jiwa manusia dalam bentuk amal perbuatan (yang
beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam wujudkan) dalam lingkungan keluarga serta
kerabat beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Hal ini dikarenakan amal perbuatan
lebih banyak memberi kesan dan pengaruh yang mendalam dalam hati manusia, dari
hanya sekedar berbicara semata.
Maka Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam pergi kepada Zainab binti Jahsiy anak perempuan
bibi beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam (kakek Zainab dan kakek Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam sama yaitu Abdul Mutthalib seorang tokoh Quraisy)
untuk meminangnya. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam ingin mengawinkannya
dengan budak beliau Zaid bin Haritsah yang telah diberi nikmat Allah menjadi
orang merdeka (lantaran dibebaskan dari budak). Lalu tatkala beliau menyebutkan
bahwa beliau akan menikahkan Zain bin Haritsah dengan Zainab binti jahsiy,
berkatalah Zainab binti Jahsiy : "Saya tidak mau menikah dengannya". Kemudian
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab : "Engkau harus menikah
dengannya". Dijawab oleh Zainab : "Tidak, demi Allah, selamanya saya tidak akan
menikahinya".
Ketika
berlangsung dialog antara Zainab dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam,
Zainab mendebat dan membantah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian
turunlah wahyu yang memutuskan perkara itu :
"Artinya : Dan
tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan yang
mu'min, apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada
bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa
mendurhakai Allah dan RasulNya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang
nyata" [Al-Ahzab :
36]
Kemudian
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam membacakan ayat tersebut kepada Zainab,
maka berkatalah Zainab : "Ya Rasulullah ! apakah engkau ridha ia menjadi suamiku
?" Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab : "Ya", maka Zainab berkata
: "Jika demikian aku tidak akan mendurhakai Allah dan RasulNya, lalu akupun
menikah dengan Zaid".
Demikianlah
Zainab binti Jahsiy menyetujui perintah Allah dan RasulNya, dan hanyalah
keadaannya tidak setuju pada awal kalinya, lantaran Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam hanyalah menawarkan dan bermusyawarah dengannya. Maka tatkala
turun wahyu, perkaranya bukan hanya perkara nikah atau meminang, setuju atau
tidak setuju, tetapi (setelah turunnya wahyu), perkaranya berubah menjadi
ketaatan atau bermaksiat kepada Allah dan RasulNya.
Tidak ada jalan
lain didepan Zainab binti Jahsiy Radhiyallahu 'anha (semoga Allah meridhainya),
melainkan harus mendengar dan taat kepada Allah dan RasulNya, dan kalau tidak
taat maka berarti telah durhaka kepada Allah dan RasulNya, sedangkan Allah
berfirman.
"Artinya : Dan
barangsiapa mendurhakai Allah dan rasulNya maka sungguhlah dia telah sesat,
sesat yang nyata" [Al-Ahzab : 36]
Demikianlah ,
sikap para sahabat Nabi dahulu tatkala menerima wahyu dari Allah 'Azza wa
Jalla, adapun kita (berbeda sekali), tiap pagi dan petang telinga kita
mendengarkan perintah-peritah serta larangan-larangan Allah dan RasulNya, akan
tetapi seolah-olah kita tidak mendengarkannya sedikitpun. Dan Allah Jalla
Jalaluhu telah menerangkan bahwa manusia yang paling celaka adalah manusia yang
tidak dapat mengambil manfaat suatu nasehat, Allah berfirman.
"Artinya : Oleh
sebab itu berikanlah peringatan karena peringatan itu bermanfaat, orang yang
takut (kepada Allah) akan mendapat pelajaran, orang-orang yang celaka (kafir)
akan menjauhinya. (Yaitu) orang yang akan memasuki api yang besar (neraka).
Kemudian dia tidak mati di dalamnya dan tidak (pula) hidup" [Al-A'la : 9-13]
Dan Allah 'Azza
wa Jalla menyebutkan keadaan orang munafik tatkala mereka hadir dalam majelis
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, mereka hadir dengan hati yang
lalai.
"Artinya : Dan
apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu kagum. Dan jika
mereka berkata kamu mendengarkan perkataan mereka. Mereka adalah seakan-akan
kayu yang tersandar. Mereka mengira bahwa tiap-tiap teriakan yang keras
ditujukan kepada mereka. Mereka itulah musuh (yang sebenarnya), maka waspadalah
terhadap mereka ; semoga Allah membinasakan mereka. Bagaimanakah mereka sampai
dipalingkan (dari kebenaran)?" [Al-Munafiqun : 4]
Lalu tatkala
bubar dari majelis, mereka tidak memahami sedikitpun, Allah
berfirman.
"Artinya : Dan
di antara mereka ada orang yang mendengarkan perkataanmu sehingga apabila mereka
keluar dari sisimu mereka berkata kepada orang yang lebih diberi ilmu
pengetahuan (sahabat-sahabat Nabi) : 'Apakah yang dikatakan tadi ?' Mereka
itulah orang-orang yang dikunci mati hati mereka oleh Allah dan mengikuti hawa
nafsu mereka" [Muhammad
: 16]
Takutlah terhadap
diri-diri kalian ! (wahai hamba Allah), dari keadaan yang terjadi pada
orang-orang munafik, berusaha dan bersemangatlah untuk bersikap sebagaimana para
sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ketahuilah ! sebagaimana Allah 'Azza
wa Jalla telah mencela orang-orang yang berpaling dan lalai, sungguh Allah 'Azza
wa Jalla memuji orang-orang yang mendengarkan perkataan lalu memahami seperti
yang dimaksud oleh Allah 'Azza wa Jalla, lalu mengamalkannya, Allah 'Azza wa
Jalla berfirman.
"Artinya : Sebab
itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-hambaKu, yang mendengarkan perkataan
lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang
telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal"
[Az-Zumar :
17-18]
Ketahuilah wahai
hamba Allah yang muslim, bahwa tidak ada pilihan bagi kalian terhadap perintah
Allah yang diperintahkan kepadamu ! tidak ada lagi pilihan bagimu ! baik engkau
kerjakan ataupun tidak.
Tidak ada lagi
pilihan bagimu terhadap larangan Allah 'Azza wa Jalla yang engkau dilarang
darinya ! baik engkau tinggalkan ataupun tidak ! Engkau dan apa yang engkau
miliki semuanya adalah milik Allah 'Azza wa Jalla engkau hamba Allah, dan Allah
'Azza wa Jalla adalah tuanmu. Bagi seorang hamba, hendaknya mencamkan dalam
dirinya untuk mendengar dan taat kepada perintah tuannya, sekalipun perintah itu
nampak berat atas dirinya. Dan kalau tidak taat, tentu akan mendapatkan murka
dari majikannya.
Dan Allah 'Azza
wa Jalla telah meniadakan keimanan dari orang-orang yang tidak ridha dengan
hukumNya dan tidak tunduk kepada RasulNya dan perintah RasulNya, Allah
berfirman.
"Artinya : Dan
tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan yang
mu'min, apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada
bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa
mendurhakai Allah dan RasulNya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang
nayata" [Al-Ahzab :
36]
Sesudah itu,
hendaklah anda (wahai para pembaca yang mulia) bersama dengan saya memperhatikan
perbandingan ini :
Kita tadi telah
mengatakan : Bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pergi ke Zainab
binti Jahsiy Radhiyallahu 'anha untuk meminangnya bagi Zaid bi Haritsah. Awalnya
Zainab menolak, karena pinangan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam hanya
bersifat menolong semata, (bukan perintah). Maka tatkala turun ayat, berubahlah
perkaranya menjadi perintah untuk taat (kepada Allah dan RasulNya).
Tidak ada
keleluasaan bagi zainab binti Jahsiy sesudah turunnya ayat itu, kecuali (harus)
mendengar dan taat. Dan kalaulah perkaranya hanya menolong semata, tentu Zainab
binti Jahsiy berhak menolak (jika tidak setuju), karena seorang wanita berhak
memilih calon suami, sebagaimana lelaki memilih calon istri, dan inilah yang
terjadi pada kisah Barirah :
Dan kisahnya
Barirah adalah sebagaimana diriwayatkan Imam Bukhari : "Bahwa 'Aisyah Ummul
Mu'minin Radhiyallahu 'anha membeli seorang budak bernama Barirah, lalu 'Aisyah
memerdekakannya. Barirah ini mempunyai suami bernama Mughis (dan ia juga
seorang budak). Maka tatkala dimerdekakan Barirah mempunyai hak untuk memilih,
apakah ia tetap berdampingan dengan suaminya (yang seorang budak), atau
bercerai. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan pilihan baginya.
Ternyata Barirah memilih untuk bercerai dengan suaminya.
Adapun suaminya,
sungguh sangat mencintainya dengan kecintaan yang sangat. Hingga tatkala Barirah
memilih bercerai dengannya, ia berjalan-jalan di belakang Barirah di
kampung-kampung kota Madinah dalam keadaan menangis. Maka tatkala Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam melihat keadaannya itu, beliau Shallallahu 'alaihi
wa sallam berkata kepada paman beliau Abbas : "Tidakkah engkau heran terhadap
kecintaan Mughis kepada Barirah ? sedang Barirah tidak menyukai Mughis ?" Lalu
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepada Barirah : "Wahai
Barirah, mengapa engkau tidak kembali kepada sumimu?" sesungguhnya ia adalah
suamimu dan ayah dari anak-anakmu!" Maka Barirah berkata : "Wahai Rasulullah,
apakah engkau memerintah atau hanya mengajurkan saja ?"
Allahu Akbar !!
perhatikanlah wahai para pembaca pertanyaan Barirah ini !! Wahai Rasulullah,
apakah engkau memerintah ? Sehingga aku tidak berhak menyelisihi perintahmu ?
atau engkau hanya menganjurkan saja sehingga aku boleh berpendapat dengan
pikiranku? Rasululah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Aku hanya
mengajurkan saja !". Barirah berkata : "Aku tidak membutuhkan suamiku lagi
!!"
Disini kami
berkata : "Pertama kali Zainab binti Jahsiy menolak untuk menikah dengan Zaid
bin Haritsah, karena masalahnya hanyalah anjuran semata, maka tatkala turun
wahyu perkaranya berubah menjadi ketaatan atau maksiat.
Zainab binti
Jahsiy berkata : "Wahai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam apakah engkau
meridhai aku menikah dengannya ?" Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
menjawab : "Ya". Jika demikian aku tidak akan mendurhakai Allah dan
RasulNya.
Dan juga terhadap
Barirah, tatkala Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menawarkan agar ia
kembali kepada suaminya, ayah dari anak-anaknya yang tidak dapat bersabar untuk
berpisah dengannya, Barirah meminta penjelasan : "Apakah engkau menyuruhku wahai
Rasulullah ?" Sehingga tidak ada keleluasaan bagiku kecuali harus mendengar dan
taat ? Maka tatkala Rasulullah bersabda : "Aku hanya menganjurkan" berkatalah
Barirah : "Aku tidak membutuhkannya lagi".
Demikianlah adab
para Sahabat terhadap Allah dan Rasulnya, serta beragama karena Allah dan
RasulNya dengan sikap mendengar dan taat, maka Allah menguasakan kepada mereka
dunia ini, dan masuklah manusia ditangan mereka kepada agama Allah secara
berbondong-bondong. Adapun kita, tatkala tidak beradab kepada Allah dan
RasulNya, kita bimbang dan menimbang-nimbang antara perintah dan
larangan-laranganNya (kita kerjakan atau tidak kita kerjakan), maka jadilah
keadaan kita ini sebagaimana yang kita saksikan saat ini, maka demi Allah,
kepadaNya-lah kalian mohon pertolongan, wahai kaum muslimin !
"Artinya : Dan
kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepadaNya sebelum datang
azab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi)" [Az-Zumar : 54]
"Artinya : Dan
bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya
kamu beruntung" [An-Nuur
: 31]
Disalin dari Majalah Adz-Dzkhiirah Al-Islamiyah Edisi : Th. 1/No. 04/
2003 - 1424H, terbitan Ma'had Ali Al-Irsyad Surabaya
0 Response to "PENYEGERAAN KEHANCURAN BAGI PARA PENENTANG RASUL"
Posting Komentar